Mendikbud Hentikan Penggunaan LKS. Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah salah satu sarana belajar siswa yang sering kali digunakan oleh para guru dalam memberikan tugas-tugas latihan, karena di dalamnya sudah terdapat beberapa pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijadikan tugas di sekolah maupun tugas Pekerjaan Rumah (PR). Namun, pengadaan buku LKS ini terkadang menjadikan tanggungan tersendiri bagi siswa, karena mereka harus membelinya dari pihak Swasta. Selain itu, ternyata Kemendikbud juga kurang setuju dengan penggunaan LKS di sekolah.
Buku Lembar Kerja Siswa. (republika.co.id) |
Penghentian / Penghapusan Lembar Kerja Siswa (LKS). Kini Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menanggapi serius tentang LKS ini. Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang penghapusan Lembar Kerja Siswa (LKS). Pengeluaran Surat Edaran tersebut lantaran karena LKS sudah dinilai kurang efektif setelah berdikusi dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
"LKS ini menurut Saya banyak biasnya. Kami sudah ada edaran untuk tidak lagi memakai LKS," kata Mendikbud Muhadjir Effendy di Sela-sela kegiatan Forum Kebudayan Dunia (WCF) tahun 2016 di Nusa Dua, Kamis (13/10) seperti yang dilansir Republika.co.id
Mendikbud Muhadjir juga mengatakan bahwa Guru mempunyai tanggung jawab mengajar muritnya sampai tuntas tanpa harus membawa pekerjaan rumah (PR) berupa LKS ke rumah siswa. Selain itu, Guru juga dilarang bekerjasama dengan perusahaan atau lembaga yang memproduksi LKS, apalagi meraih keuntungan dari situ.
Tugas dari LKS yang dibawa ke rumah biasanya lebih banyak dikerjakan oleh orang tuanya daripada murid. Seharusnya orang tua mempunyai tugas mendampingi anaknya belajar di rumah, bukan menyelesaikan tuas rumah si anak. Bapak Muhadjir juga mengkiritik kegiatan les yang dilakukan oleh siswa. Menurut dia, seharusnya kegiatan les itu tidak ada, karena menambah beban belajar siswa. "Les semestinya tidak ada. Itu adalah tanggung jawab guru supaya anak muridnya pintar," ujarnya.
Pada tahun 2016 ini, Kemendikbud akan menjalankan program Full Day School. Ada sekitar 500 sekolah untuk percontohan yang disiapkan untuk program Full Day School ini. Dengan program Full Day School ini bukan berarti siswa harus belajar seharian di sekolah, namun hanya memastikan bahwa mereka tetap mengikuti kegiatan pendidikan karakter di sekolah, salah satunya yaitu ekstrakurikuler. "Tahun depan jumlahnya akan kami tingkatkan menjadi 1.500 sekolah," katanya.
Sebenarnya program Full Day school ini bukan merupakan sebuah program yang asing bagi masyarakat Indonesia yang umumnya tinggal di perkotaan, karena sebelumnya sudah banyak sekolah yang menerapkan full day school seperti ini. Program dari Kemendikbud ini merupakan terobosan untuk memajukan kualitas pendidikan karakter siswa. Dari Level Sekolah Dasar (SD) Mendikbud akan menyisipkan pendidikan karakter hingga 70 persen, SMP 60 persen, dan SMA 30 persen.
Mendikbud juga menambahkan, bahwa selain dari 500 sekolah tersebut, masih ada tambahan dari sekolah lain yang berasal dari inisiatif dan usulan pemerintah kabupaten atau kota. Itulah bukti bahwa sudah banyak dari pihak sekolah yang sangat antusias untuk menjalankan program full day school ini. Inilah saatnya kita semua menghidupkan kembali pendidikan karakter melalui budaya dan konten lokal, agar kualitas pendidikan di negeri ini semakin baik.